Various Experiences in Handling Wildlife in Malaysia

2 min read

BERITA SIKIA – Kenalkan perkembangan satwa liar di Malaysia, Program Studi Kedokteran Hewan Sekolah Ilmu Kesehatan dan Ilmu Alam (SIKIA) Universitas Airlangga menyelenggarakan webinar “The Wild Side of Theriogenology in Malaysia” pada Rabu (6/9/2023). Kegiatan tersebut dilaksanakan secara daring melalui platform Zoom Meeting dengan pemateri Dr. Wan Nor Fitri Bin Wan Jaafar dari Department of Veterinary Clinical Studies, Faculty of Veterinary Medicine Universiti Putra Malaysia (UPM).

Letak Geografis Samakan Biodiversitas

Dengan sikap terbuka, Dr. Fitri membagikan kisah hidup menekuni dunia veteriner pada bidang satwa liar di Negara Malaysia. Sebagai negara yang bertetangga, Indonesia dan Malaysia memiliki kemiripan geografis dan biodiversitas satwa liar. Hal tersebut tak lain karena dalam lintang astronomis kedua negara itu masuk kedalam iklim tropis yang memiliki hutan hujan. Habitat tersebut menjadi salah satu alasan biodiversitas satwa berbagai menjadi sangat tinggi.

Secara pribadi, dirinya pernah berkonflik dengan gajah di kawasan tempat tinggal yang ditempatinya. Menempatkan dirinya dalam konflik dinamis dengan satwa liar. Banyak orang beranggapan bahwa gajah tersebut menyerang wilayah pemukiman. Padahal kawasan manusia yang mengekspansi kawasan lalu lintas gajah. Perubahan landscape membuat kawasan yang merupakan jalur gajah melintas menjadi berbeda secara visual. Namun sesuai insting, maka gajah akan tetap melewati kawasan tersebut sebagai pergerakan, karena gajah sudah terlebih dahulu ada di wilayah tersebut.

Nasib Badak Sumatera Terakhir di Malaysia

Dosen bidang teriogenologi UPM tersebut menyebut beberapa tahun lalu, perhatian konservasi oleh para pegiat satwa liar dan pemerintah Malaysia tertuju pada Badak Sumatera. Berbagai usaha penyelamatan terus diupayakan karena populasi yang dapat dihitung dengan jari. Hingga akhirnya badak sumatera terakhir mengalami kematian dan membuat populasi disana berada di angka nol.

Punahnya Badak Sumatera, membuat perhatian konservasi teralihkan menuju harimau malaysia yang kini nasibnya juga diujung tanduk. Menjadi kerugian yang besar bagi negara Malaysia apabila tak mampu menyelamatkan satwa itu. Tantangan terbesar saat ini adalah harimau yang ditangkarkan dalam kondisi “tua” yang berumur 15 tahun keatas. Kondisi tersebut membuat daya reproduksi menjadi kurang fit untuk proses breeding.

Walaupun begitu, kondisi fisik hewan itu akan terlihat masih sangat muda. Skrining harus dilakukan karena terkadang kondisi sakit pada harimau tidak tampak secara visual hingga berakhir dalam kematian. Oleh karena itu menurut Dr Fitri menjadi seorang veteriner memerlukan perasaan dalam mengetahui perubahan perilaku maupun fisiologis.

Penulis: Putri Laura Faradina

Editor: Avicena C. Nisa

source
https://unair.ac.id/

You May Also Like

More From Author